Halsel

Membandingkan Halmahera Selatan dan Kaur

Perjalanan ke Kabupaten Halmahera Selatan (Halsel) merupakan perjalanan dalam rangkaian penelitian bersama seorang rekan peneliti. Trip ke pulau Bacan dilakukan selama 2 hari tanggal 6-7 Juli 2012. Timbul pertanyaan mengapa aku tertarik menulis perbandingan antara kabupaten Halsel ini dengan kabupaten Kaur yang merupakan kabupaten tempatku dilahirkan dan dibesarkan? Mengapa tidak membandingkan dengan kabupaten lain yang sama-sama berada di propinsi Bengkulu? Yang semua sudah pernah dikunjungi baik kabupaten lama maupun baru.

Ada alasannya. Pertama tanggal 6 Juli merupakan tanggal bersejarah bagiku sehingga ingatanku berjalan dan bertumpu ke kampung halamanku meskipun aku sedang berada jauh dari keramaian kota Jakarta. Alasan kedua feeling ingin membandingkan keduanya karena hampir mirip, ketika berkeliling dengan ojek di dalam kota Labuha, Mandaong, area Kediaman, kecamatan Babang, aku serasa berkeliling di dalam kota Bintuhan dengan desa Pasar lama, Gedung Sake, Padang Petrun, Padang Tegajul, Perantuan dll. Wilayah Kediaman di Halsel Barat persis seperti berada di perkantoran Kaur Padang Kempas. Perjalanan ke desa Babang rasanya seperti berada di desa Bakal sampai ke Linau kecamatan Maje, dan Dermaga Biru seolah-olah berada di dermaga pantai Linau yang indah di Kabupaten Kaur. Bedanya Babang punya pelabuhan Laut dengan Kapal-kapal besar menuju Ternate dan kota-kota lainnya.

Alasan ketiga, kabupaten Halsel lebih kurang sama umur menjadi kabupaten dengan kabupaten Kaur yaitu sama sekitar 2003. Keempat, aku mengenal kedua bupati kepala daerah tersebut. Bupati Halsel berpendidikan S3 sebagai Bupati Halsel sejal awal ‘merdeka’ (2 kali terpilih) yang kukenal sekitar 5 tahun yang lalu di Jakarta ketika beliau sedang memesan 2 buah kapal untuk Halsel dan aku memesan 2 buah bus mahasiswa Stikes PHI. Bupati Kaur juga sama lulusan S3, aku mengenalnya ketika belum lama menjadi bupati sekitar 7-8 bulan yang lalu dalam persiapan peresmian pernikahan anaknya di Bengkulu dan sekitar 4 bulan yang lalu mempresentasikan rencana pembangunan di Kabupaten Kaur di depan Persatuan Warga Kaur (PWK). Alasan kelima, sambil lewat aku sempat berbincang dengan masyarakat kedua kabupaten seperti supir angkot, tukang ojek, petugas bandara, penjual di pasar, petugas hotel/restoran, petugas puskesmas, dinas kesehatan, nelayan, petani dsb terkait pendapat mereka dengan kemajuan setelah menjadi kabupaten.

Kubuat tulisan ini di sebuah bandara mungil Halsel (Bandara Usman Sadik Labuha) yang menerbangkan pesawat kecil Express Ternate – Labuha, untuk membuka wawasan khususnya bagi pejabat dan masyarakat kabupaten Kaur. Kutulis dengan diiringi berbagai perasaan: bersyukur diberi kesempatan oleh Allah menyaksikan pulau Halmahera dan menulisnya, rasa iri dan sedih mengingat penduduk sanak saudaraku di Kaur, ada rasa kesal dengan pola kepemimpinan di Kaur yang sudah 3 kali ganti Bupati. Mengapa ada keirian dengan kabupaten di bagian timur Indonesia yang sering disebut daerah terkebelakang ini? Kabupaten Halsel dalam propinsi Malut termasuk kabupaten yang lambat kemajuannya dibandingkan dengan kabupaten di Halmahera Utara (Tobelo dan Morotai). Bagaimana dengan kabupaten Kaur yang berada di bagian Barat Indonesia terletak di propinsi Bengkulu yang sudah lama jadi propinsi?

Mari kita simak!
Pertama, Halsel sudah mempunyai lapangan terbang mungil, meskipun kapal laut Ternate - Labuha berjalan lancar sekitar 8 jam perjalanan sedangkan Kabupaten Kaur belum ada lapangan terbang. Rencana sudah disebut sejak bupati pertama namun sampai sekarang belum terlaksana sehingga yang dari Jakarta mau ke Kaur harus melewati propinsi Banten dan propinsi Lampung selama sehari semalam. Kalau naik pesawat harus lewat Kota Bengkulu lanjut dengan mobil travel/angkot selama sekitar 5 jam perjalanan. Jalan darat, adalah satu-satunya jalan yang tersedia untuk ke kota Bintuhan ibu kota kabupaten kaur, pelabuhan laut tidak ada. Kedua, pengelolaan parawisata di Halsel sudah hidup, ada Dermaga Merah, Dermaga Biru, tempat duduk dan tenda-tenda yang bersih sepanjang pantai Labuha. Laut sama-sama bersih dan jernih dibandingkan dengan laut Linau, laut Sejunyit atau laut Merpas di Kaur bahkan pantai Linau/Sekunyit lebih indah dengan pasir putih lembut dan laut yang lebih biru.

Nikmatnya duduk di tenda makan minum menikmati kopi dan pisang goreng hangat legit sepanjang pantai Labuha dan di Dermaga Biru tanpa terlihat tumpukan sampah/kantong plastik di laut dan pantai, sambil memandang bukit dan gunung di seberang lautan dan kapal-kapal Ferry atau kapal-kapal nelayan yang terapung-apung di tengah laut. Di pantai-pantai Kaur tersedia pasir putih tanpa kursi tenda untuk duduk sambil memandangi laut dengan perahu-perahu nelayan tradisional terapung-apung di atasnya. Bagi pengunjung yang ingin merasakan mandi di laut Kaur harus berpikir dulu dimana nanti mandi bilasnya, berbeda dengan pantai Halsel yang tersedia kamar-kamar mandi dan toilet. Pabila mau juga duduk-duduk di pasir pantai Pasar Lama Kaur yang dahuluuunya ketika kecilku menjadi pantai favorit dengan kebersihan dan keasriannya, namun sekarang penuh dengan tumpukan sampah dan kotoran manusia.

Bicara masalah kesehatan, meskipun hanya 2 hari di sana rasanya cukup puas dan bersemangat dapat berbincang dengan Kadinkes dan staf terkait kondisi kesehatan masyarakatnya serta upaya yang sedang dan akan dilakukan. Sebaliknya tahun yang lalu 5 hari aku berada di Kaur juga dalam rangka penelitian, tidak ada kesempatan berbincang dengan Kadinkesnya yang ‘kebetulan’ berada di luar kota sehingga sampai sekarang tidak tahu bagaimana mindset dalam menghadapi kondisi kesehatan masyarakat Kaur yang termasuk dalam salah satu Daerah Bermasalah Kesehatan di Indonesia. Tidak perlu terlalu teknis membandingkan angka atau data kedua kabupaten tetapi secara umum dan fanatik kita masih menganut prinsip ‘kebersihan pangkal kesehatan’.

Terakhir perlu rasanya membahas sedikit tentang pemimpin kedua kabupaten. Nampaknya Bupati Halsel telah membuktikan kinerja di mata masyarakatnya. Masyarakat yang kutemui menyatakan cukup puas dengan gerak langkah bupatinya yang cukup nyata berorientasi kepada peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Bupati yang menurut masyarakatnya bersikap cukup terbuka dan rendah hati serta tidak terlalu protokoler. Namun masyarakat Kaur banyak yang menyatakan belum ada perubahan dalam kesejahteraan hidupnya bahkan merasa kehidupannya makin sulit dan terpuruk meskipun telah hampir 10 tahun ‘merdeka’. Untuk menjadi PNS yang diidam-idamkan, calon harus menyuap ratusan juta rupiah (dengan menjual rumah, kebun, kerbau/sapi dsb), itupun kadang harta/uang hilang PNS tetap di awang. Beberapa bulan yang lalu bupati baru Kaur ‘harapan masyarakat kaur’ dengan bangga dan bersemangat mempresentasikan rencana pembangunan kabupaten Kaur dengan dana sumbangan dari berbagai donatur luar (Uni Eropa, World Bank, dsb) untuk membuat GEDUNG BUDAYA dan GEDUNG PUSAKA dengan dana 1 Trilyunan yang sudah disetujui BANGGAR DPR RI. Ironisnya seorang anggota Banggar DPR RI yang hadir pada waktu itu yang masih ‘berbau asli Kaur’ menyatakan inilah ‘untungnya’ dari status kabupaten Kaur sebagai KABUPATEN TERBELAKANG sehingga berdatangan bantuan dari luar. Nah… untuk siapa dan siapa yang menikmatinya??
Semoga bermanfaat.

Ditulis pada tanggal 6 Juli 2012, di Labuha Pulau Bacan, Halmahera Selatan Maluku Utara

Sekilas tentang penulis: Dr. Qomariah Alwi, SKM, M.MedSc. Lahir di Bintuhan, 6 Juni 1949. Beliau adalah pendiri Yayasan Persada Husada Indonesia dan Berkala Widya Husada. Dosen dan Peneliti senior dari Litbangkes Kemenkes RI, seorang Ibu dari 3 putera yang pantang menyerah dan tak kenal lelah berkarya untuk kemajuan bangsa, utamanya dibidang penelitian dan pendidikan kesehatan Indonesia.

Perjalanan menuju Labuha Pulau Bacan, Halmahera Selatan